KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat
serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Penulis bersyukur kepada Ilahi Rabbi
yang telah memberikan hidayah serta taufik-Nya kepada penulis sehingga makalah Dasar-dasar
Bimbingan dan Konseling dapat
terselesaikan.
Untuk memenuhi kebutuhan agar silabi mata kuliah Dasar-dasar
Bimbingan dan Konseling dapat dilaksanakan dengan baik, penulis berusaha dengan
segala kemampuan dan kekurangan yang ada menyusun makalah ini. Dengan
diterbitkannya makalah ini diharapkan para mahasiswa dapat memahami secara
mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang dikaji dalam Dasar-dasar
Bimbingan dan Konseling.
Terima
kasih kami ucapkan kepada Dosen Mata kuliah
Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, yakni Bapak H. Muchsinin,Drs., MA. Dan kami juga mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih
terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan
para pakar, penulis mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan
makalah ini pada terbitan selanjutnya.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Amin.
Indramayu, 9 April 2012
Penyusun
BAB I
PEMBAHASAN
STRATEGI
DAN INTERVENSI KONSELING
A. Konseling
sebagai Profesi Bantuan
Konseling adalah profesi bantuan. Profesi bantuan ini
terdiri atas kumpulan profesional. Tiap-tiap profesional menyesuaikan dengan
kebutuhan khusus pribadi atau masyarakat. Beberapa profesi bantuan
diidentifikasikan sebagai profesi bantuan, seperti psikiater, psikolog,
konselor profesional, ahli terapi keluarga dan perkawinan, serta pekerja sosial.
Para professional bantuan adalah profesional-profesional dari
berbagai disiplin ilmu yang memasuki jaringan kerja bantuan untuk periode
temporer. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang terkemuka seperti
pendeta, dokter, perawat dan guru.
Para professional dan professional bantuan itu keduanya
memberikan andil secara umum, yaitu sama-sama mempunyai misi membantu. Dalam
konteks psikoterapeutik, proses membantu ini mempunyai beberapa nama, yaitu treatment, analisis, fasilitas, dan
modifikasi.
Proses bantuan ini mempunyai beberapa dimensi. Dimensi pertama
adalah kondisi-kondisi yang mendasari bantuan. Dimensi kedua adalah prakondisi
yang mengarahkan seseorang pribadi (klien) mencari bantuan dan pribadi yang
lain (konselor) memberikan bantuan. Dimensi ketiga adalah hasil dari interaksi
diantara dua orang pribadi.
Dimensi pertama dari bantuan itu, yaitu kondisi-kondisi yang
mendasari bantuan meliputi adanya kejelasan dari seseorang untuk mencari
bantuan; adanya keinginan dari seseorang untuk memberikan bantuan,
keterampilan-keterampilan konselor, dan
setting yang memungkinkan bantuan diberikan dan diterima.
Dimensi kedua dari bantuan itu, yaitu beberapa prakondisi
untuk bantuan yang meliputi karakteristik-karakteristik dari pemberi bantuan
(konselor) dan klien. Karakteristik-karakteristik klien meliputi:
1) Keterampilan-keterampilan
penguasaan;
2) Kemampuan-kemampuan menyelesaikan
masalah;
3) Konsep diri;
4) Temperamen, dan
5) Pengalaman-pengalaman interpersonal.
Adapun karakteristik-karakteristik pemberi bantuan
(konselor) meliputi : (1) Pengalaman memberi bantuan dalam peran bantuan, (2)
Konsep diri, (3) Sikap professional, (4) Pengalaman interpersonal, dan (5)
Kesadaran diri yang memengaruhi perkembangan hubungan.
Dimensi ketiga dari bantuan adalah hasil-hasil atau hasil
akhir dari hubungan antara pemberi bantuan (konselor) dan klien.
Orang yang memberikan
bantuan meliputi : (1) Psikiater, (2) Psikolog, (3) Pekerja social, (4) Ulama,
(5) Pendeta nasrani, dan (6) Pendeta yahudi.
Konselor di sekolah
meliputi : (1) Sekolah dasar, (2) Sekolah menengah, (3) Sekolah atas. Konselor
sekolah dasar banyak memfokuskan pada kegiatan kerjasama dengan staf pengajar
untuk menciptakan lingkungan psikologis yang sehat utnk anak-anak di sekolah.
Konselor menengah banyak menghabsikan waktunya dengan anak-anak, baik secara
individu maupun kelompok. Sedangkan konselor sekolah atas banyak memfokuskan
pada perencanaan karier dan studi di perguruan tinggi, maslah hubungan pribadi,
masalah keluarga, dan masalah identitas pribadi.
Konseling yang
dilakukan konselor di perguruan tinggi antara lain : (1) Konseling karier, (2) Konseling
penyesuaian pribadi, (3) Konseling krisis, dan (4) Konseling penyalahgunaan
obat.
Konseling dalam setting masyarakat biasanya dilakukan
oleh pekerja sosial atau konselor kesehatan mental. Masalah yang ditangani
sebagian besar perkenaan dengan kesehatan mental. Klien yang ditangani meliputi
: (1) Anak-anak, (2) Remaja, (3) Orang tua, (4) Pasangan suami istri, dan (5) Keluarga.
Konseling dalam setting agama, biasanya dilakukan oleh
konselor agama. Mereka berkeyakinan, bahwa masalah-masalah manusia arus
ditelaah dalam konteks keyakinan dan nilai agama.
Konseling profesional memiliki
empat unsur, yaitu : (1) Kualitas-kualitas pribadi konselor, (2) Ketrampilan-ketrampilan
antar pribadi yang dimiliki konselor, (3) Ketrampilan-ketrampilan membedakan
dan konseptualisasiyang dimiliki konselor, serta (4) Ketrampilan-ketrampilan
intervensi yang dimiliki konselor.
Konselor profesional
itu biasanya dididik oleh program-program pendidikan tertinggi setingkat
master. Mereka melakukan program-program pelatihan dan diperkenalkan dengan
berbagai profesi bantuan, setting bantuan, populasi, dan etika profesional.
B. Hubungan
Bantuan Konseling
Keberhasilan dalam konseling banyak ditentukan oleh kualitas
hubungan. Rogers mengatakan, bahwa
dalam hubungan bantuan terdapat kondisi-kondisi penting untuk terjadinya
perubahan kepribadian yang positif. Kondisi-kondisi tersebut mengarah pada
karakteristik hubungan antarpribadi yang konstruktif. Kondisi-kondisi tersebut
meliputi, yaitu : (1) empati yang tepat, (2) penghargaan positif tanpa syarat,
dan (3) keaslian.
Empati merupakan kekuatan untuk mengerti
perasaan orang lain. Rogers mengatakan, bahwa empati itu
merupakan pemahaman terhadap kerangka berpikir internal orang lain secara
tepat. Pemahaman empati itu meliputi (1) merasakan dunia klien secara tepat,
(2) membagi / mengkomunikasikan pemahaman konselor dengan klien secara verbal.
Penghargaan Positif merupakan penghargaan terhadap
klien sebagai pribadi yang unik dan berguna. Penghargaan Positif merupakan
penghargaan terhadap klien sebagai pribadi yang unik dan berguna. Rogers menjelaskan penghargaan positif
itu tanpa syarat, yakni menghormati dan menerima klien apa adanya tanpa
membedakan nilai dan pandangan.
Hendaknya, konselor menunjukkan keaslian dalam konseling. Rogers
cenderung menghubungkan istilah keaslian ini dengan istilah kesesuaian,
yaitu kondisi yang mencerminkan kejujuran, kejelasan, dan keterbukaan. Keaslian
konselor terhadap klien dapat memperlancar suasana saling percaya.
Pengungkapan
diri mengenai perasaan, ide, pemikiran, dan pengalaman konselor agar klien
memahami bahwa konselor juga manusia, tidak saja berperan sebagai konselor.
Pengungkapan diri ini hendaknya dilakukan secara tepat. Terdapat beberapa jenis
pengungkapan diri, yaitu :
1) Pengungkapan
diri tentang masalah-masalah konselor sendiri;
2) Pengungkapan
diri tentang fakta-fakta peran konselor;
3) Pengungkapan
diri tentang reaksi-reaksi diri terhadap klien;
4) Pengungkapan
diri tentanf reaksi-reaksi konselor terhadap hubungan antara konselor dan
klien.
Hendaknya,
konselor menjadi pribadi yang intensional atau pribadi yang berfungsi penuh,
yakni mempunyai kemampuan, mampu menghasilkan alternatif perilaku-perilaku
bantuan dalam berbagai situasi, mempunyai beberapa alternatif cara bantuan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan klien pada saat sekarang, dan mampu
mengembangkan tujuan-tujuan konseling.
C. Attending
Terhadap Klien
Konselor harus
mempunyai pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang diperlakukan dalam
proses konseling. Salah satu keterampilan itu adalah attending. Attending
terhadap klien adalah kemampuan mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian
terhadap klien. Ketrampilan attending
ini berupa perilaku verbal maupun nonverbal yang tepat secara budaya yang
berfungsi melibatkan klien dalam proses konseling.
Perhatian itu
dikomunikasikan terutama melalui tiga saluran, yaitu : (1) Ekspresi muka, (2)
Posisi dan gerakan tubuh, serta (3) Respons verbal. Cara-cara komunikasi
tersebut merupakan tanda untuk klien mengenai tingkat penerimaan, persetujuan,
penolakan, atau pengabaian yang dihubungkan dengan perilaku penguatan.
Ekspresi Muka merupakan wahana utama bagi komunikasi
emosional, mencerminkan sikap antarpribadi, merupakan umpan balik nonverbal
terhadap komentar dari orang lain. Bahasa badan muka ini meliputi; kontak mata
yang baik lebih memudahkan komuikasi antara klien dan konselor, anggukan kepala
menunjukkan pada klien bahwa konselor sedang mendengarkan dan memerhatikan,
animasi adalah manipulasi otot wajah untuk menghasilkan senyum, kerutan dahi,
pengabaian dan sebagainya.
Bahasa badan
muka ini meliputi : (1) Kontak mata, (2) Anggukan kepala, dan (3) Animasi. Kontak
mata yang baik lebih memudahkan komunikasi antara klien dan konselor. Anggukan
kepala menunjukan kepada klien bahwa konselor sedang mendengarkan dan
memperhatikan. Animasi adalah manipulasi otot wajah untuk menghasilkan senyum,
kerutan dahi, pengabaian dan sebagainya. Animasi dalam ekspresi muka ini
memberikan kesan kepada klien bahwa konselor itu merespons terhadap komunikasi
yang berjalan.
Kunci Komunikasi Tubuh adalah sejumlah tekanan yang konselor
rasakan yang menunjukkan kenyamanan baik dalam setting konseling maupun topik
yang dibahas.
Perilaku Verbal berupa ucapan konselor mempunyai pengaruh
langsung terhadap klien. Sehubungan dengan perilaku verbal ini, terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu (1) sesuaikan komentar atau
pertanyaan konselor dengan konteks dari topik yang ada, (2) jangan memotong
pembicaraan klien atau melompat pada topik lain, serta (3) tetaplah dengan
topik yang klien kenal dan membantu klien.
D. Pemahaman
Pola-pola Komunikasi
Banyak konselor yang berpengalaman telah mengembangkan suatu
“gaya” interaksi dengan kliennya. Kebanyakan
pola yang terjadi dalam sesi konseling adalah pola komunikasi interaktif.
Gormier dan Hackey menjelaskan bahwa dalam pendekatan konseling terhadap klien,
kebanyakan menerapkan dua motivasi yang mengandung konflik, yaitu : “Saya tau saya memerlukan bantuan” dan “Saya berharap saya tidak ada dalam situasi
ini”.
Konselor yang kurang berpartipasi mungkin memiliki ketakutan
terhadap klien atau terhadap masalahnya. Secara behavioral, kurang
berpartisipasi dapat muncul dalam karakteristik nonverbal maupun verbal.
Termasuk karakteristik nonverbal, adalah tampak kaku, kurang gerak, posisi
badan sering menjaga jarak dengan klien, menghindarkan pandangan, dan
kadang-kadang membungkukkan bahu. Sedangkan karakteristik verbal meliputi
kalimatnya tidak lengkap, berbicara yang tidak berlanjut, kadang-kadang mencela
pernyataannya sendiri, atau memberikan respon yang sifatnya reflektif. Atau
dengan menggunakan bahasa yang lembut, sopan, dan pelan.
Ada beberapa
pola komunikasi dalam proses konseling. Sebagian mengambil pada komunikasi
bentuk ritual, sementara yang lain mengambil pola komunikasi responsif atau
interaktif. Pola komunikasi bentuk ritual ditunjukkan dengan perilaku rutin
yang ditunjukkan oleh konselor atau klien. Contohnya, klien selalu memilih
kursi yang menghadap jendela, sementara konselor selalu memulai dengan
pertanyaan “Apa yang terlintas dalam pikiran Anda pada hari ini?” dan
sebagainya.
Pola komunikasi
bentuk responsif ditunjukkan dengan negosiasi-negosiasi antara konselor dengan
klien, dengan maksud menyelesaikan beberapa permasalahan. Contohnya, “Apakah
kita akan bekerja sungguh-sungguh hari ini?” dan sebagainya.
Bagi konselor
pemula, kondisi diam dapat menjadikan ketakutan. Konselor bertanggung jawab
agar klien mau berbicara. Konselor dapat menggunakan diam itu sebagai teknik
konseling dan sebagai cara untuk merespons terhadap klien. Dalam diam inilah
klien mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam konseling ke
dalam sistem yang ada pada dirinya.
E. Pengelolaan
Kegiatan Konseling
Wawancara
pertama dengan klien mempunyai dinamika khusus. Wawancara pertama ini merupakan
awal dari potensi hubungan yang signifikan. Dalam wawancara pertama ini
harapan, kekhawatiran dan keberatan, kesadaran dan ketidaksadaran semuanya
berpengaruh pada kegiatan konseling. Menghadapi kondisi seperti ini, konselor
memilih salah satu dari dua kemungkinan, yaitu konselor bekerja dengan dinamika
hubungan yang ada atau menciptakan kegiatan awal ini dengan wawancara yang
menghasilkan dan mengumpulkan informasi yang diperlukan tentang klien. Jika
konselor memfokuskan pada dinamika antarpribadi pada wawancara pertama, maka
dalam wawancara kedua dan ketiga, konselor harus mengumpulkan informasi.
Apabila konselor menggunakan kegiatan wawancara awal ini untuk menghasilkan
informasi, maka selanjutnya harus memulai untuk memahami dinamika hubungan.
Ada beberapa
tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan konseling awal ini, yaitu :
1. Mengurangi
kecemasan klien,
2. Menahan
diri untuk tidak berbicara terlalu banyak,
3. Mendengarkan
dengan seksama apa yang dikatakan klien dan berusaha utuk menata kembali
kata-kata yang dijelaskan oleh klien,
4. Menyadari
bahwa yang dipilih klien itu merupakan topik utama untuk saat ini.
Dalam membuka
wawancara, konselor secara singkat memperkenalkan diri disertai dengan senyum
dan mempersilahkan klien untuk mengambil tempat duduk. Setelah memperkenalkan
diri, konselor memberikan kesempatan pada klien untuk berbicara atau koselor
memberikan informasi kepada klien tentang sruktur konseling yang meliputi
sifat, batas-batas, peran-peran, dan tujuan-tujuan dalam hubungan konseling.
Konselor pemula
sering tidak yakin kapan mengakhiri wawancara, mereka merasa siap untuk
mengakhiri tanpa memikirkan apakah klien sudah siap atau belum. Benjamin mengidentifikasikan dua faktor
dasar untuk menutup proses wawancara, yaitu:
1. Konselor
dan klien menyadari bahwa wawancara sudah saatnya ditutup,
2. Penghentian
wawancara itu dikaitkan dengan kesiapan untuk melaksanakannya, selanjutnya
tidak ada materi baru yang dikemukakan atau didiskusikan pada fase wawancara.
Apabila klien tiba-tiba mengemukakan topik baru pada saat wawancara berakhir,
maka konselor lebih baik menganjurkan pembahasan materi baru itu dilakukan pada
wawancara berikutnya manakala mempunyai waktu banyak.
Hubungan
konseling itu berakhir apabila :
1. Kontrak
konseling berakhir,
2. Tujuan
klien tercapai,
3. Hubungan
konseling tampak tidak bermanfaat,dan
4. Kondisi-kondisi
kontekstual berubah, contohnya lokasi klien atau konselor berubah.
F. Responding
Terhadap Isi Kognitif
Respon konselor
terhadap klien dapat berupa respons verbal
dan nonverbal. Oleh sebab itu
konselor harus mampu merespons secara tepat isi kognitif yang dikemukakan oleh
klien. Tugas konselor adalah mengidentifikasi secara tepat jenis-jenis isi yang
dikemukakan oleh klien dan mengidentifikasi alternatif-alternatif respons yang
dapat dilakukan. Stimulus yang disajikan itu dapat digunakan secara khusus
untuk merespons isi kognitif dan afektif. Isi kognitif itu berupa ide-ide yang
berhubungan dengan kejadian-kejadian, manusia, dan benda-benda. Jenis respons
yang dapat digunakan dari stimulus yang menghasilkan isi kognitif adalah :
1. Diam;
2. Meminimalkan
aktifitas verbal seperti kata-kata oh, mmm,
ya, dan sebagainya;
3. Menyatakan
kembali seluruh atau sebagian apa yang dikomunikasikan klien;
4. Melakukan
probing, yaitu bertanya yang
memerlukan jawaban lebih dari satu kata jawaban dari klien.
G. Responding terhadap Isi Afektif
Klien
menggunakan seluruh cara-cara verbal
dan nonverbal untuk menyatakan
masalah pada konselor. Emosi-emosi yang menyertai pertanyaannya menghiasi dan
mengubah pesan. Isyarat-isyarat ini tidak selalu mudah dibaca.
Komunikasi-komunikasi
yang mencerminkan perasaaan-perasaan itu dapat digambarkan sebagai afektif.
Banyak pesan yang berisi kognitif dan afektif. Apabila itu terjadi, pesan
afektif itu mungkin tidak tampak dalam kata-kata klien, tetapi dapat dinyatakan
melalui cara-cara nonverbal, seperti
suara yang memuncak, kecepatan berbicara, posisi-posisi tubuh , dan bahasa
badan.
Perasaan-perasaan itu dapat kita identifikasikan ke dalam
beberapa bidang, yaitu : (1) kasih sayang, (2) kemarahan, (3) kekhawatiran, dan
(4) kesedihan.
Kasih sayang mencerminkan positif atau perasaan-perasaan
baik tentang diri seseorang atau orang lain, dan menunjukkan perasaan-perasaan
positif tentang hubungan-hubungan antarpribadi. Perasaan positif ini dapat
diklasifikasikan ke dalam lima bidang, yaitu (1) kesenangan, (2) kemampuan, (3)
kecintaan, (4) kebahagiaan, dan (5) harapan.
Kemarahan mencerminkan suatu gangguan atau kesulitan untuk
merasa lega atau lepas. Macam-macam stimulus sering menimbulkan kemarahan,
contohnya frustasi, ancaman, dan ketakutan. Sering ketakutan disembunyikan oleh
ledakan kemarahan. Kemarahan dapat diklasifkasikan ke dalam empat kategori
umum, yaitu (1) penyerangan, (2) keseraman, (3) pertahanan, dan (4)
perselisihan.
Ketakutan mencerminkan reaksi pribadi terhadap berbagai
bahaya sehingga menjauhinya. Reaksi-reaksi ini merupakan bentuk penghindaran
dari sesuatu yang menyakitkan atau situasi yang penuh tekanan dari diri
seseorang atau manusia lain. Ketakutan dapat diklasifikasikan ke dalam kategori
umum, yaitu (1) kekhawatiran, (2) kesangsian, (3) kesakitan, dan (4)
penghindaran.
Kesedihan, kesunyian dan kemuraman merupakan respons
terhadap kondisi-kondisi klien yang meliputi ketidakpuasan hubungan pribadi,
kondisi lingkungan, ketidakseimbangan fisik.
H. Membedakan
Pesan Kognitif dan Afektif
Proses memilih
antara topik-topik kognitif dan afektif klien itu dinamakan differentiation. Proses pemilihan
respons kognitif atau afektif yang dilakukan oleh konselor bergantung pada apa
yang terjadi dalam interaksi dan apa yang dibutuhkan oleh klien.
Terdapat
beberapa respons konselor yang bermanfaat untuk membedakan pesan kognitif dan
afektif klien. Respons-respons tersebut, yaitu (1) penekanan, (2) respons bahwa
klien itu potensial, dan (3) konfrontasi.
Respons konselor
terhadap isi afektif itu penting, yaitu sebagai alat untuk mengurangi kecemasan
klien yang selama ini terpelihara. Respons konselor terhadap isi kognitif
membantu klien dalam mengembangkan dan mengekspresikan proses-proses pemikiran
dalam menyelesaikan masalah dan membuat keputusan.
I. Konseptualisasi
(Perumusan) Masalah dan Penyusunan Tujuan
Konseptualisasi masalah ini meliputi (1) mengenal kebutuhan
klien, (2) memahami kebutuhan klien, dan (3) memenuhi kebutuhan klien.
Jourard mengonseptualisasikan kebutuhan ini
dengan cara yang berguna untuk konseling, yaitu (1) kebutuhan untuk
kelangsungan hidup, (2) kebutuhan fisik, (3) kebutuhan cinta dan seks, (4)
kebutuhan status, sukses, dan harga diri, (5) kebutuhan kesehatan mental dan
fisik, (6) kebutuhan bebas, (7) kebutuhan menantang, serta (8) kebutuhan
kejelasan kognitif.
Konselor perlu memahami dunia klien sebagai orang yang :
1) secara terus-menerus merasakan
kebutuhan-kebutuhan;
2) tidak selamanya mengenal kebutuhan;
dan
3) mencari bantuan konselor.
Peran konselor adalah menciptakan
suasana yang menyenangkan untuk konseling.
Proses konseling melibatkan dua jenis tujuan, yaitu tujuan
proses dan tujuan hasil akhir. Tiujuan itu dikaitkan dengan menciptakan
suasana-suasana yang penting untuk perubahan klien, seperti menciptakan
hubungan baik.
Tujuan hasil dibedakan untuk setiap klien. Tujuan-tujuan
hasil itu secara langsung dikaitkan dengan perubahan klien sebagai hasil
konseling. Ada tiga unsur tujuan hasil akhir yang baik, yaitu :
1) perilaku yang diubah,
2) kondisi yang mendasari perubahan,
dan
3) tingkat atau jumlah perubahan.
J. Penyeleksian
Strategi dan Intervensi
Dalam proses
konseling, konselor harus mampu menilai perilaku dan pengaruhnya terhadap
klien. Konselor harus mampu menciptakan suasana hubungan yang memudahkan.
Strategi-strategi ini merupakan rencana-rencana kegiatan yang dirancang untuk
mencapai tujuan-tujuan khusus konseling.
Strategi-strategi ini merupakan rencana-rencana kegiatan
yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan khusus konseling. Ada tiga komponen
utama fase strategi konseling yaitu : (1) penyeleksian strategi, (2)
pelaksanaan strategi, dan (3) penilaian strategi.
Penyeleksian Strategi dimulai dengan asumsi-asumsi tertentu.
Cormier dan Hackney menjelaskan asumsi-asumsi tersebut dihubungkan dengan
masalah dan tujuan. Dengan kata lain, penyeleksian strategi yang efektif itu
tidak dapat dilakukan tanpa mempunyai pemahaman yang jelas tentang masalah dan
kejelasan tujuan-tujuan konseling yang dikaitkan dengan masalah. Selanjutnya,
pertimbangan lain yang mempengaruhi penyeleksian strategi adalah (1) pilihan
teoritis konselor, (2) tingkat pengalaman dan kemampuan konselor, serta (3)
pengetahuan konselor tentang respons-respons khusus kien pada intervensi.
Konselor yang
berpengalaman sering mendiskusikan penggunaan strategi ini bersama klien dengan
maksud untuk memunculkan reaksi klien serta mengundang kerja sama klien dalam
intervensi.
Dalam
mengevaluasi strategi, ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu (1)
untuk apa evaluasi; (2) siapa yang mengevaluasi ; (3) bagaimana cara
mengevaluasi.
K. Penggunaan
Intervensi-intervensi Konseling
Strategi-strategi
atau intervensi-intervensi yang akan dijelaskan, yaitu :
1. Strategi model sosial
Modeling sosial dibangun berdasar atas belajar
observasional. Sejak masa kanak-kanak, manusia selalu melihat dan meniru.
Melalui pengalaman yang bervariasi tersebut, seseorang akan memperoleh berbagai
pengetahuan dan keterampilan. Keterbatasan dari model ini adalah kemampuan
seseorang untuk melakukan observasi, keatraktivan model, dan generabilitas dari
peristiwa-peristiwa yang dipelajari. Termasuk dalam model ini adalah model
hidup, model simboling, dan model tertutup. [1]
2. Strategi bermain peran dan latihan
Model ini dapat meningkatkan perubahan melalui perangsangan
atau permainan secara nyata dari respon yang diinginkan. Unsur-unsur
umum dalam aplikasi strategi bermain peran dan latihan, yaitu :
1) pembentukan
kembali diri seseorang, orang lain, suatu peristiwa, atau sejumlah respon oleh
klien,
2) Menggunakan
saat sekarang atau disini dan sekarang untuk mengadakan pembentukan kembali,
3) Proses
pembentukan berangsur-angsur di mana adegan-adegan yang tidak sulit dibentuk
lebih dahulu dan adegan-adegan yang lebih sulit dipesan untuk berikutnya,
4) Umpan
balik untuk klien dari konselor atau seorang asisten.
3. Strategi perubahan kognitif
Ada dua strategi perubahan kognitif, yaitu pemberhentian
berfikir dan penyusunan kembali kognitif. Kedua strategi itu mempunyai tujuan
membantu manusia mencegah berfikir irasional atau mencegah system keyakinan
yang tidak logis dari gangguan-gangguan, yaitu dengan cara memfungsikan otak
secara efektif.
Strategi pemberhentian berpikir, prosedurnya adalah sebagai
berikut :
1) Klien diinstruksikan untuk
membayangkan diri mereka terlibat dalam situasi yang menghasilkan berpikir
irasional.
2) Kemudian, pada saat pikiran yang
tidak logis itu muncul, konselor melakukan intervensi dengan kata “berhenti”.
3) Selanjutnya klien diinstruksikan
cara-cara mengubah pola pikir.
4. Strategi pengelolaan diri.
Karateristik
utama strategi pengelolaan diri adalah bahwa klien mengatur strategi dan
mengarahkan upaya-upaya perubahan dengan bantuan yang sedikit dari konselor.
Strategi pengelolaan diri itu sangat berguna dalam kaitannya dengan sejumlah
masalah klien. Tiga dari strategi pengelolaan diri yang paling berguna antara
lain : (1) Pantau diri, (2) Ganjar diri, dan (3) Kontrak diri.
Penelitian
menunjukkan, bahwa akibat-akibat yang dihasilkan oleh pantau diri dapat lebih
meningkatkan dan lebih mantap apabila pantau diri disertai dengan strategi
terapeutik lain, seperti ganjar diri, hukum diri, dan kontrak diri. Pantau diri
selalu dikombinasikan dengan strategi bantuan lain sebagai cara untuk
mengumpulkan data mengenai perilaku-perilaku yang diharapkan. Ganjar diri
melibatkan pemberian ganjaran pada diri akibat kejadian dari perilaku yang
diharapkan. Ganjar
diri dimaksudkan untuk memperkuat perilaku karena ada asumsi bahwa ganjar diri
mempunyai fungsi, seperti penguat eksternal. Klien dapat menggunakan ganjar
diri dengan dua cara, yaitu (1) mereka dapat memberikan ganjaran pada diri
mereka sendiri setelah melakukan perilaku-perilaku khusus, (2) mereka mampu
menghilangkan sesuatu yang negatif setelah melakukan perilaku-perilaku yang
diharapkan. Ada tiga faktor utama yang terlibat dalam membantu klien
menggunakan ganjar diri, yaitu (1) menggunakan untuk apa ganjaran itu; (2)
bagaimana mengatur ganjaran itu; dan (3) kapan mengatur ganjaran itu.
Kontrak diri adalah komitmen klien terhadap diri sendiri
untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya yang disetujui oleh konselor dan ditanda tangani
oleh klien. Kontrak diri ini berisi gambaran tentang kondisi-kondisi yang
terjadi pada beberapa tahapan kegiatan, yaitu (1) di mana klien akan melakukan
kegiatan; (2) bagaimana klien akan melaksanakan kegiatan; dan (3) kapan
tugas-tugas itu selesai.
L. Penerimaan
dan Penggunaan Supervisi
Untuk memahami
supervisi, kita perlu mengetahui apa yang terjadi dalam supervisi, siapa yang
terjadi dalam supervisi, siapa yang memberikan supervisi, dan dalam konteks apa
supervisi itu terjadi. Supervisi
klinis adalah proses pendidikan yang berlangsung terus di mana seorang pribadi
yang berperan sebagai supervisor membantu pribadi lain yang berperan sebagai supervise memperoleh perilaku
profesional yang tepat melalui ujian (latihan) mengenai aktivitas-aktivitas
profesional supervise. Supervisor
klinis meliputi instruktur praktikum, siswa doktor yang sedang bekerja dengan
siswa yang dilatih, atau supervisor dalam setting
lapangan yang bekerja dengan traine.
Yang menjadi fokus supervisi, yaitu :
1)
keterampilan-keterampilan
proses konseling,
2)
keterampilan-keterampilan
konseptulisasi (perumusan) masalah,
3)
keterampilan-keterampilan
personalisasi, dan
4)
keterampilan-keterampilan
profesional.
Gaya-gaya
supervisi, yaitu (1) gaya peran guru yakni supervisor banyak menjelaskan dan
menggunakan intruksi, (2) gaya peran konselor yakni supervisor banyak
memfokuskan pada hubungan antarpribadi dan intrapribadi, dan (3) gaya peran
konsultan yakni supervisor banyak mendorong para traine untuk memikirkan diri mereka sendiri dan untuk mempercayai
wawasan-wawasan mereka sendiri.[2]
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah mencermati isi makalah sebagaimana telah dibahas,
maka diperoleh pemahaman penting tentang bagaimana strategi konseling dan
intervensi harus dilaksanakan. Berdasarkan isi makalah ini terdapat beberapa
hal yang secara khusus ditekankan oleh Hackey dan Cormier dalam bukunya.
Pertama, pernyataannya bahwa dimensi
keterampilan konselor merupakan salah satu dimensi penting dalam proses bantun.
Konselor adalah seorang yang professional dalam pemberian bantuan, karena itu
seorang konselor, disamping harus memenuhi kualifikasi formal dan personal, ia
juga harus memiliki berbagai keterampilan, terutama keterampilan interpersonal,
konseptualisasi, dan dalam intervensi.
Kedua, dinyatakan bahwa dalam relasi
konseling seorang konselor harus mampu mengembangkan sikap empati, penghargaan
positif, keiklhlasan, keaslian, dan kesungguhan, atau dalam istilah Roger
kongruensi. Sedangkan tugas konselor adalah memfasilitasi klien agar potensi-potensinya
dapat berkembang secara optimal.
Ketiga, dinyatakan bahwa empati,
penghargaan positif, kongruensi adalah kondisi-kondisi yang diperlukan untuk
mendukung terjadinya relasi konseling.
B.
Saran
Seorang konselor yang profesional harus memenuhi kualifikasi
personal yang memadai serta memiliki keterampilan interpersonal,
konseptualisasi, dan strategi dalam intervensi.
C.
Daftar Pustaka
Dr. Achmad Juntika Nurihsan, M.Pd. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar
Kehidupan. Bandung: 2006.
Hackey
dan Cormier, Strategi dan Intervensi
Konseling, 1988.
http://khairiilham.blogspot.com/2010/01/strategi-dan-intervensi-konseling.html
http://kajianpsikologi.guru-indonesia.net/artikel_detail-17091.html