Jumat, 20 April 2012

STRATEGI DAN INTERVENSI KONSELING


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah  SAW. Penulis bersyukur kepada Ilahi Rabbi yang telah memberikan hidayah serta taufik-Nya kepada penulis sehingga makalah Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling dapat  terselesaikan.
Untuk memenuhi kebutuhan agar silabi mata kuliah Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling dapat dilaksanakan dengan baik, penulis berusaha dengan segala kemampuan dan kekurangan yang ada menyusun makalah ini. Dengan diterbitkannya makalah ini diharapkan para mahasiswa dapat memahami secara mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang dikaji dalam Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling.
Terima kasih kami ucapkan kepada Dosen Mata kuliah Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, yakni Bapak H. Muchsinin,Drs., MA. Dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan para pakar, penulis mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan makalah ini pada terbitan selanjutnya.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Amin.


Indramayu,  9 April 2012

Penyusun
BAB I
PEMBAHASAN
STRATEGI DAN INTERVENSI KONSELING

A.    Konseling sebagai Profesi Bantuan
Konseling adalah profesi bantuan. Profesi bantuan ini terdiri atas kumpulan profesional. Tiap-tiap profesional menyesuaikan dengan kebutuhan khusus pribadi atau masyarakat. Beberapa profesi bantuan diidentifikasikan sebagai profesi bantuan, seperti psikiater, psikolog, konselor profesional, ahli terapi keluarga dan perkawinan, serta pekerja sosial.
Para professional bantuan adalah profesional-profesional dari berbagai disiplin ilmu yang memasuki jaringan kerja bantuan untuk periode temporer. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang terkemuka seperti pendeta, dokter, perawat dan guru.
Para professional dan professional bantuan itu keduanya memberikan andil secara umum, yaitu sama-sama mempunyai misi membantu. Dalam konteks psikoterapeutik, proses membantu ini mempunyai beberapa nama, yaitu treatment, analisis, fasilitas, dan modifikasi.
Proses bantuan ini mempunyai beberapa dimensi. Dimensi pertama adalah kondisi-kondisi yang mendasari bantuan. Dimensi kedua adalah prakondisi yang mengarahkan seseorang pribadi (klien) mencari bantuan dan pribadi yang lain (konselor) memberikan bantuan. Dimensi ketiga adalah hasil dari interaksi diantara dua orang pribadi.
Dimensi pertama dari bantuan itu, yaitu kondisi-kondisi yang mendasari bantuan meliputi adanya kejelasan dari seseorang untuk mencari bantuan; adanya keinginan dari seseorang untuk memberikan bantuan, keterampilan-keterampilan konselor, dan setting yang memungkinkan bantuan diberikan dan diterima.
Dimensi kedua dari bantuan itu, yaitu beberapa prakondisi untuk bantuan yang meliputi karakteristik-karakteristik dari pemberi bantuan (konselor) dan klien. Karakteristik-karakteristik klien meliputi:
1)      Keterampilan-keterampilan penguasaan;
2)      Kemampuan-kemampuan menyelesaikan masalah;
3)      Konsep diri;
4)      Temperamen, dan
5)      Pengalaman-pengalaman interpersonal.
Adapun karakteristik-karakteristik pemberi bantuan (konselor) meliputi : (1) Pengalaman memberi bantuan dalam peran bantuan, (2) Konsep diri, (3) Sikap professional, (4) Pengalaman interpersonal, dan (5) Kesadaran diri yang memengaruhi perkembangan hubungan.
Dimensi ketiga dari bantuan adalah hasil-hasil atau hasil akhir dari hubungan antara pemberi bantuan (konselor) dan klien.
Orang yang memberikan bantuan meliputi : (1) Psikiater, (2) Psikolog, (3) Pekerja social, (4) Ulama, (5) Pendeta nasrani, dan (6) Pendeta yahudi.
Konselor di sekolah meliputi : (1) Sekolah dasar, (2) Sekolah menengah, (3) Sekolah atas. Konselor sekolah dasar banyak memfokuskan pada kegiatan kerjasama dengan staf pengajar untuk menciptakan lingkungan psikologis yang sehat utnk anak-anak di sekolah. Konselor menengah banyak menghabsikan waktunya dengan anak-anak, baik secara individu maupun kelompok. Sedangkan konselor sekolah atas banyak memfokuskan pada perencanaan karier dan studi di perguruan tinggi, maslah hubungan pribadi, masalah keluarga, dan masalah identitas pribadi.
Konseling yang dilakukan konselor di perguruan tinggi antara lain : (1) Konseling karier, (2) Konseling penyesuaian pribadi, (3) Konseling krisis, dan (4) Konseling penyalahgunaan obat.
Konseling dalam setting masyarakat biasanya dilakukan oleh pekerja sosial atau konselor kesehatan mental. Masalah yang ditangani sebagian besar perkenaan dengan kesehatan mental. Klien yang ditangani meliputi : (1) Anak-anak, (2) Remaja, (3) Orang tua, (4) Pasangan suami istri, dan (5) Keluarga.
Konseling dalam setting agama, biasanya dilakukan oleh konselor agama. Mereka berkeyakinan, bahwa masalah-masalah manusia arus ditelaah dalam konteks keyakinan dan nilai agama.
Konseling profesional memiliki empat unsur, yaitu : (1) Kualitas-kualitas pribadi konselor, (2) Ketrampilan-ketrampilan antar pribadi yang dimiliki konselor, (3) Ketrampilan-ketrampilan membedakan dan konseptualisasiyang dimiliki konselor, serta (4) Ketrampilan-ketrampilan intervensi yang dimiliki konselor.
Konselor profesional itu biasanya dididik oleh program-program pendidikan tertinggi setingkat master. Mereka melakukan program-program pelatihan dan diperkenalkan dengan berbagai profesi bantuan, setting bantuan, populasi, dan etika profesional.
B.     Hubungan Bantuan Konseling
Keberhasilan dalam konseling banyak ditentukan oleh kualitas hubungan. Rogers mengatakan, bahwa dalam hubungan bantuan terdapat kondisi-kondisi penting untuk terjadinya perubahan kepribadian yang positif. Kondisi-kondisi tersebut mengarah pada karakteristik hubungan antarpribadi yang konstruktif. Kondisi-kondisi tersebut meliputi, yaitu : (1) empati yang tepat, (2) penghargaan positif tanpa syarat, dan (3) keaslian.
Empati merupakan kekuatan untuk mengerti perasaan orang lain. Rogers mengatakan, bahwa empati itu merupakan pemahaman terhadap kerangka berpikir internal orang lain secara tepat. Pemahaman empati itu meliputi (1) merasakan dunia klien secara tepat, (2) membagi / mengkomunikasikan pemahaman konselor dengan klien secara verbal.
 Penghargaan Positif merupakan penghargaan terhadap klien sebagai pribadi yang unik dan berguna. Penghargaan Positif merupakan penghargaan terhadap klien sebagai pribadi yang unik dan berguna. Rogers menjelaskan penghargaan positif itu tanpa syarat, yakni menghormati dan menerima klien apa adanya tanpa membedakan nilai dan pandangan.
Hendaknya, konselor menunjukkan keaslian dalam konseling. Rogers cenderung menghubungkan istilah keaslian ini dengan istilah kesesuaian, yaitu kondisi yang mencerminkan kejujuran, kejelasan, dan keterbukaan. Keaslian konselor terhadap klien dapat memperlancar suasana saling percaya.
Pengungkapan diri mengenai perasaan, ide, pemikiran, dan pengalaman konselor agar klien memahami bahwa konselor juga manusia, tidak saja berperan sebagai konselor. Pengungkapan diri ini hendaknya dilakukan secara tepat. Terdapat beberapa jenis pengungkapan diri, yaitu :
1)      Pengungkapan diri tentang masalah-masalah konselor sendiri;
2)      Pengungkapan diri tentang fakta-fakta peran konselor;
3)      Pengungkapan diri tentang reaksi-reaksi diri terhadap klien;
4)      Pengungkapan diri tentanf reaksi-reaksi konselor terhadap hubungan antara konselor dan klien.
Hendaknya, konselor menjadi pribadi yang intensional atau pribadi yang berfungsi penuh, yakni mempunyai kemampuan, mampu menghasilkan alternatif perilaku-perilaku bantuan dalam berbagai situasi, mempunyai beberapa alternatif cara bantuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan klien pada saat sekarang, dan mampu mengembangkan tujuan-tujuan konseling.
C.    Attending Terhadap Klien
Konselor harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang diperlakukan dalam proses konseling. Salah satu keterampilan itu adalah attending. Attending terhadap klien adalah kemampuan mendengarkan secara aktif dan penuh perhatian terhadap klien. Ketrampilan attending ini berupa perilaku verbal maupun nonverbal yang tepat secara budaya yang berfungsi melibatkan klien dalam proses konseling.
Perhatian itu dikomunikasikan terutama melalui tiga saluran, yaitu : (1) Ekspresi muka, (2) Posisi dan gerakan tubuh, serta (3) Respons verbal. Cara-cara komunikasi tersebut merupakan tanda untuk klien mengenai tingkat penerimaan, persetujuan, penolakan, atau pengabaian yang dihubungkan dengan perilaku penguatan.
Ekspresi Muka merupakan wahana utama bagi komunikasi emosional, mencerminkan sikap antarpribadi, merupakan umpan balik nonverbal terhadap komentar dari orang lain. Bahasa badan muka ini meliputi; kontak mata yang baik lebih memudahkan komuikasi antara klien dan konselor, anggukan kepala menunjukkan pada klien bahwa konselor sedang mendengarkan dan memerhatikan, animasi adalah manipulasi otot wajah untuk menghasilkan senyum, kerutan dahi, pengabaian dan sebagainya.
Bahasa badan muka ini meliputi : (1) Kontak mata, (2) Anggukan kepala, dan (3) Animasi. Kontak mata yang baik lebih memudahkan komunikasi antara klien dan konselor. Anggukan kepala menunjukan kepada klien bahwa konselor sedang mendengarkan dan memperhatikan. Animasi adalah manipulasi otot wajah untuk menghasilkan senyum, kerutan dahi, pengabaian dan sebagainya. Animasi dalam ekspresi muka ini memberikan kesan kepada klien bahwa konselor itu merespons terhadap komunikasi yang berjalan.
Kunci Komunikasi Tubuh adalah sejumlah tekanan yang konselor rasakan yang menunjukkan kenyamanan baik dalam setting konseling maupun topik yang dibahas.
Perilaku Verbal berupa ucapan konselor mempunyai pengaruh langsung terhadap klien. Sehubungan dengan perilaku verbal ini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu (1) sesuaikan komentar atau pertanyaan konselor dengan konteks dari topik yang ada, (2) jangan memotong pembicaraan klien atau melompat pada topik lain, serta (3) tetaplah dengan topik yang klien kenal dan membantu klien.
D.    Pemahaman Pola-pola Komunikasi
Banyak konselor yang berpengalaman telah mengembangkan suatu “gaya” interaksi dengan kliennya. Kebanyakan pola yang terjadi dalam sesi konseling adalah pola komunikasi interaktif. Gormier dan Hackey menjelaskan bahwa dalam pendekatan konseling terhadap klien, kebanyakan menerapkan dua motivasi yang mengandung konflik, yaitu : “Saya tau saya memerlukan bantuan” dan “Saya berharap saya tidak ada dalam situasi ini”.
Konselor yang kurang berpartipasi mungkin memiliki ketakutan terhadap klien atau terhadap masalahnya. Secara behavioral, kurang berpartisipasi dapat muncul dalam karakteristik nonverbal maupun verbal. Termasuk karakteristik nonverbal, adalah tampak kaku, kurang gerak, posisi badan sering menjaga jarak dengan klien, menghindarkan pandangan, dan kadang-kadang membungkukkan bahu. Sedangkan karakteristik verbal meliputi kalimatnya tidak lengkap, berbicara yang tidak berlanjut, kadang-kadang mencela pernyataannya sendiri, atau memberikan respon yang sifatnya reflektif. Atau dengan menggunakan bahasa yang lembut, sopan, dan pelan.
Ada beberapa pola komunikasi dalam proses konseling. Sebagian mengambil pada komunikasi bentuk ritual, sementara yang lain mengambil pola komunikasi responsif atau interaktif. Pola komunikasi bentuk ritual ditunjukkan dengan perilaku rutin yang ditunjukkan oleh konselor atau klien. Contohnya, klien selalu memilih kursi yang menghadap jendela, sementara konselor selalu memulai dengan pertanyaan “Apa yang terlintas dalam pikiran Anda pada hari ini?” dan sebagainya.
Pola komunikasi bentuk responsif ditunjukkan dengan negosiasi-negosiasi antara konselor dengan klien, dengan maksud menyelesaikan beberapa permasalahan. Contohnya, “Apakah kita akan bekerja sungguh-sungguh hari ini?” dan sebagainya.
Bagi konselor pemula, kondisi diam dapat menjadikan ketakutan. Konselor bertanggung jawab agar klien mau berbicara. Konselor dapat menggunakan diam itu sebagai teknik konseling dan sebagai cara untuk merespons terhadap klien. Dalam diam inilah klien mengintegrasikan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam konseling ke dalam sistem yang ada pada dirinya.
E.     Pengelolaan Kegiatan Konseling
Wawancara pertama dengan klien mempunyai dinamika khusus. Wawancara pertama ini merupakan awal dari potensi hubungan yang signifikan. Dalam wawancara pertama ini harapan, kekhawatiran dan keberatan, kesadaran dan ketidaksadaran semuanya berpengaruh pada kegiatan konseling. Menghadapi kondisi seperti ini, konselor memilih salah satu dari dua kemungkinan, yaitu konselor bekerja dengan dinamika hubungan yang ada atau menciptakan kegiatan awal ini dengan wawancara yang menghasilkan dan mengumpulkan informasi yang diperlukan tentang klien. Jika konselor memfokuskan pada dinamika antarpribadi pada wawancara pertama, maka dalam wawancara kedua dan ketiga, konselor harus mengumpulkan informasi. Apabila konselor menggunakan kegiatan wawancara awal ini untuk menghasilkan informasi, maka selanjutnya harus memulai untuk memahami dinamika hubungan.
Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan konseling awal ini, yaitu :
1.      Mengurangi kecemasan klien,
2.      Menahan diri untuk tidak berbicara terlalu banyak,
3.      Mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan klien dan berusaha utuk menata kembali kata-kata yang dijelaskan oleh klien,
4.      Menyadari bahwa yang dipilih klien itu merupakan topik utama untuk saat ini.
Dalam membuka wawancara, konselor secara singkat memperkenalkan diri disertai dengan senyum dan mempersilahkan klien untuk mengambil tempat duduk. Setelah memperkenalkan diri, konselor memberikan kesempatan pada klien untuk berbicara atau koselor memberikan informasi kepada klien tentang sruktur konseling yang meliputi sifat, batas-batas, peran-peran, dan tujuan-tujuan dalam hubungan konseling.
Konselor pemula sering tidak yakin kapan mengakhiri wawancara, mereka merasa siap untuk mengakhiri tanpa memikirkan apakah klien sudah siap atau belum. Benjamin mengidentifikasikan dua faktor dasar untuk menutup proses wawancara, yaitu:
1.      Konselor dan klien menyadari bahwa wawancara sudah saatnya ditutup,
2.      Penghentian wawancara itu dikaitkan dengan kesiapan untuk melaksanakannya, selanjutnya tidak ada materi baru yang dikemukakan atau didiskusikan pada fase wawancara. Apabila klien tiba-tiba mengemukakan topik baru pada saat wawancara berakhir, maka konselor lebih baik menganjurkan pembahasan materi baru itu dilakukan pada wawancara berikutnya manakala mempunyai waktu banyak.
Hubungan konseling itu berakhir apabila :
1.      Kontrak konseling berakhir,
2.      Tujuan klien tercapai,
3.      Hubungan konseling tampak tidak bermanfaat,dan
4.      Kondisi-kondisi kontekstual berubah, contohnya lokasi klien atau konselor berubah.

F.     Responding Terhadap Isi Kognitif
Respon konselor terhadap klien dapat berupa respons verbal dan nonverbal. Oleh sebab itu konselor harus mampu merespons secara tepat isi kognitif yang dikemukakan oleh klien. Tugas konselor adalah mengidentifikasi secara tepat jenis-jenis isi yang dikemukakan oleh klien dan mengidentifikasi alternatif-alternatif respons yang dapat dilakukan. Stimulus yang disajikan itu dapat digunakan secara khusus untuk merespons isi kognitif dan afektif. Isi kognitif itu berupa ide-ide yang berhubungan dengan kejadian-kejadian, manusia, dan benda-benda. Jenis respons yang dapat digunakan dari stimulus yang menghasilkan isi kognitif adalah :
1.      Diam;
2.      Meminimalkan aktifitas verbal seperti kata-kata oh, mmm, ya, dan sebagainya;
3.      Menyatakan kembali seluruh atau sebagian apa yang dikomunikasikan klien;
4.      Melakukan probing, yaitu bertanya yang memerlukan jawaban lebih dari satu kata jawaban dari klien.

G.    Responding terhadap Isi Afektif
Klien menggunakan seluruh cara-cara verbal dan nonverbal untuk menyatakan masalah pada konselor. Emosi-emosi yang menyertai pertanyaannya menghiasi dan mengubah pesan. Isyarat-isyarat ini tidak selalu mudah dibaca.
Komunikasi-komunikasi yang mencerminkan perasaaan-perasaan itu dapat digambarkan sebagai afektif. Banyak pesan yang berisi kognitif dan afektif. Apabila itu terjadi, pesan afektif itu mungkin tidak tampak dalam kata-kata klien, tetapi dapat dinyatakan melalui cara-cara nonverbal, seperti suara yang memuncak, kecepatan berbicara, posisi-posisi tubuh , dan bahasa badan.
Perasaan-perasaan itu dapat kita identifikasikan ke dalam beberapa bidang, yaitu : (1) kasih sayang, (2) kemarahan, (3) kekhawatiran, dan (4) kesedihan.
Kasih sayang mencerminkan positif atau perasaan-perasaan baik tentang diri seseorang atau orang lain, dan menunjukkan perasaan-perasaan positif tentang hubungan-hubungan antarpribadi. Perasaan positif ini dapat diklasifikasikan ke dalam lima bidang, yaitu (1) kesenangan, (2) kemampuan, (3) kecintaan, (4) kebahagiaan, dan (5) harapan.
Kemarahan mencerminkan suatu gangguan atau kesulitan untuk merasa lega atau lepas. Macam-macam stimulus sering menimbulkan kemarahan, contohnya frustasi, ancaman, dan ketakutan. Sering ketakutan disembunyikan oleh ledakan kemarahan. Kemarahan dapat diklasifkasikan ke dalam empat kategori umum, yaitu (1) penyerangan, (2) keseraman, (3) pertahanan, dan (4) perselisihan.
Ketakutan mencerminkan reaksi pribadi terhadap berbagai bahaya sehingga menjauhinya. Reaksi-reaksi ini merupakan bentuk penghindaran dari sesuatu yang menyakitkan atau situasi yang penuh tekanan dari diri seseorang atau manusia lain. Ketakutan dapat diklasifikasikan ke dalam kategori umum, yaitu (1) kekhawatiran, (2) kesangsian, (3) kesakitan, dan (4) penghindaran.
Kesedihan, kesunyian dan kemuraman merupakan respons terhadap kondisi-kondisi klien yang meliputi ketidakpuasan hubungan pribadi, kondisi lingkungan, ketidakseimbangan fisik.

H.    Membedakan Pesan Kognitif dan Afektif
Proses memilih antara topik-topik kognitif dan afektif klien itu dinamakan differentiation. Proses pemilihan respons kognitif atau afektif yang dilakukan oleh konselor bergantung pada apa yang terjadi dalam interaksi dan apa yang dibutuhkan oleh klien.
Terdapat beberapa respons konselor yang bermanfaat untuk membedakan pesan kognitif dan afektif klien. Respons-respons tersebut, yaitu (1) penekanan, (2) respons bahwa klien itu potensial, dan (3) konfrontasi.
Respons konselor terhadap isi afektif itu penting, yaitu sebagai alat untuk mengurangi kecemasan klien yang selama ini terpelihara. Respons konselor terhadap isi kognitif membantu klien dalam mengembangkan dan mengekspresikan proses-proses pemikiran dalam menyelesaikan masalah dan membuat keputusan.

I.       Konseptualisasi (Perumusan) Masalah dan Penyusunan Tujuan
Konseptualisasi masalah ini meliputi (1) mengenal kebutuhan klien, (2) memahami kebutuhan klien, dan (3) memenuhi kebutuhan klien.
Jourard mengonseptualisasikan kebutuhan ini dengan cara yang berguna untuk konseling, yaitu (1) kebutuhan untuk kelangsungan hidup, (2) kebutuhan fisik, (3) kebutuhan cinta dan seks, (4) kebutuhan status, sukses, dan harga diri, (5) kebutuhan kesehatan mental dan fisik, (6) kebutuhan bebas, (7) kebutuhan menantang, serta (8) kebutuhan kejelasan kognitif.
Konselor perlu memahami dunia klien sebagai orang yang :
1)      secara terus-menerus merasakan kebutuhan-kebutuhan;
2)      tidak selamanya mengenal kebutuhan; dan
3)      mencari bantuan konselor.
Peran konselor adalah menciptakan suasana yang menyenangkan untuk konseling.
Proses konseling melibatkan dua jenis tujuan, yaitu tujuan proses dan tujuan hasil akhir. Tiujuan itu dikaitkan dengan menciptakan suasana-suasana yang penting untuk perubahan klien, seperti menciptakan hubungan baik.
Tujuan hasil dibedakan untuk setiap klien. Tujuan-tujuan hasil itu secara langsung dikaitkan dengan perubahan klien sebagai hasil konseling. Ada tiga unsur tujuan hasil akhir yang baik, yaitu :
1)      perilaku yang diubah,
2)      kondisi yang mendasari perubahan, dan
3)      tingkat atau jumlah perubahan.


J.      Penyeleksian Strategi dan Intervensi 
Dalam proses konseling, konselor harus mampu menilai perilaku dan pengaruhnya terhadap klien. Konselor harus mampu menciptakan suasana hubungan yang memudahkan. Strategi-strategi ini merupakan rencana-rencana kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan khusus konseling.
Strategi-strategi ini merupakan rencana-rencana kegiatan yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan khusus konseling. Ada tiga komponen utama fase strategi konseling yaitu : (1) penyeleksian strategi, (2) pelaksanaan strategi, dan (3) penilaian strategi.
Penyeleksian Strategi dimulai dengan asumsi-asumsi tertentu. Cormier dan Hackney menjelaskan asumsi-asumsi tersebut dihubungkan dengan masalah dan tujuan. Dengan kata lain, penyeleksian strategi yang efektif itu tidak dapat dilakukan tanpa mempunyai pemahaman yang jelas tentang masalah dan kejelasan tujuan-tujuan konseling yang dikaitkan dengan masalah. Selanjutnya, pertimbangan lain yang mempengaruhi penyeleksian strategi adalah (1) pilihan teoritis konselor, (2) tingkat pengalaman dan kemampuan konselor, serta (3) pengetahuan konselor tentang respons-respons khusus kien pada intervensi.
Konselor yang berpengalaman sering mendiskusikan penggunaan strategi ini bersama klien dengan maksud untuk memunculkan reaksi klien serta mengundang kerja sama klien dalam intervensi.
Dalam mengevaluasi strategi, ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu (1) untuk apa evaluasi; (2) siapa yang mengevaluasi ; (3) bagaimana cara mengevaluasi.
K.    Penggunaan Intervensi-intervensi Konseling
Strategi-strategi atau intervensi-intervensi yang akan dijelaskan, yaitu :
1.      Strategi model sosial
Modeling sosial dibangun berdasar atas belajar observasional. Sejak masa kanak-kanak, manusia selalu melihat dan meniru. Melalui pengalaman yang bervariasi tersebut, seseorang akan memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan. Keterbatasan dari model ini adalah kemampuan seseorang untuk melakukan observasi, keatraktivan model, dan generabilitas dari peristiwa-peristiwa yang dipelajari. Termasuk dalam model ini adalah model hidup, model simboling, dan model tertutup. [1]
2.      Strategi bermain peran dan latihan
Model ini dapat meningkatkan perubahan melalui perangsangan atau permainan secara nyata dari respon yang diinginkan. Unsur-unsur umum dalam aplikasi strategi bermain peran dan latihan, yaitu :
1)      pembentukan kembali diri seseorang, orang lain, suatu peristiwa, atau sejumlah respon oleh klien,
2)      Menggunakan saat sekarang atau disini dan sekarang untuk mengadakan pembentukan kembali,
3)      Proses pembentukan berangsur-angsur di mana adegan-adegan yang tidak sulit dibentuk lebih dahulu dan adegan-adegan yang lebih sulit dipesan untuk berikutnya,
4)      Umpan balik untuk klien dari konselor atau seorang asisten.

3.      Strategi perubahan kognitif
Ada dua strategi perubahan kognitif, yaitu pemberhentian berfikir dan penyusunan kembali kognitif. Kedua strategi itu mempunyai tujuan membantu manusia mencegah berfikir irasional atau mencegah system keyakinan yang tidak logis dari gangguan-gangguan, yaitu dengan cara memfungsikan otak secara efektif.
Strategi pemberhentian berpikir, prosedurnya adalah sebagai berikut :
1)      Klien diinstruksikan untuk membayangkan diri mereka terlibat dalam situasi yang menghasilkan berpikir irasional.
2)      Kemudian, pada saat pikiran yang tidak logis itu muncul, konselor melakukan intervensi dengan kata “berhenti”.
3)      Selanjutnya klien diinstruksikan cara-cara mengubah pola pikir.

4.      Strategi pengelolaan diri.
Karateristik utama strategi pengelolaan diri adalah bahwa klien mengatur strategi dan mengarahkan upaya-upaya perubahan dengan bantuan yang sedikit dari konselor. Strategi pengelolaan diri itu sangat berguna dalam kaitannya dengan sejumlah masalah klien. Tiga dari strategi pengelolaan diri yang paling berguna antara lain : (1) Pantau diri, (2) Ganjar diri, dan (3) Kontrak diri.
Penelitian menunjukkan, bahwa akibat-akibat yang dihasilkan oleh pantau diri dapat lebih meningkatkan dan lebih mantap apabila pantau diri disertai dengan strategi terapeutik lain, seperti ganjar diri, hukum diri, dan kontrak diri. Pantau diri selalu dikombinasikan dengan strategi bantuan lain sebagai cara untuk mengumpulkan data mengenai perilaku-perilaku yang diharapkan. Ganjar diri melibatkan pemberian ganjaran pada diri akibat kejadian dari perilaku yang diharapkan. Ganjar diri dimaksudkan untuk memperkuat perilaku karena ada asumsi bahwa ganjar diri mempunyai fungsi, seperti penguat eksternal. Klien dapat menggunakan ganjar diri dengan dua cara, yaitu (1) mereka dapat memberikan ganjaran pada diri mereka sendiri setelah melakukan perilaku-perilaku khusus, (2) mereka mampu menghilangkan sesuatu yang negatif setelah melakukan perilaku-perilaku yang diharapkan. Ada tiga faktor utama yang terlibat dalam membantu klien menggunakan ganjar diri, yaitu (1) menggunakan untuk apa ganjaran itu; (2) bagaimana mengatur ganjaran itu; dan (3) kapan mengatur ganjaran itu.
Kontrak diri adalah komitmen klien terhadap diri sendiri untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya yang disetujui oleh konselor dan ditanda tangani oleh klien. Kontrak diri ini berisi gambaran tentang kondisi-kondisi yang terjadi pada beberapa tahapan kegiatan, yaitu (1) di mana klien akan melakukan kegiatan; (2) bagaimana klien akan melaksanakan kegiatan; dan (3) kapan tugas-tugas itu selesai.

L.     Penerimaan dan Penggunaan Supervisi
Untuk memahami supervisi, kita perlu mengetahui apa yang terjadi dalam supervisi, siapa yang terjadi dalam supervisi, siapa yang memberikan supervisi, dan dalam konteks apa supervisi itu terjadi. Supervisi klinis adalah proses pendidikan yang berlangsung terus di mana seorang pribadi yang berperan sebagai supervisor membantu pribadi lain yang berperan sebagai supervise memperoleh perilaku profesional yang tepat melalui ujian (latihan) mengenai aktivitas-aktivitas profesional supervise. Supervisor klinis meliputi instruktur praktikum, siswa doktor yang sedang bekerja dengan siswa yang dilatih, atau supervisor dalam setting lapangan yang bekerja dengan traine.
Yang menjadi fokus supervisi, yaitu :
1)      keterampilan-keterampilan proses konseling,
2)      keterampilan-keterampilan konseptulisasi (perumusan) masalah,
3)      keterampilan-keterampilan personalisasi, dan
4)      keterampilan-keterampilan profesional.
Gaya-gaya supervisi, yaitu (1) gaya peran guru yakni supervisor banyak menjelaskan dan menggunakan intruksi, (2) gaya peran konselor yakni supervisor banyak memfokuskan pada hubungan antarpribadi dan intrapribadi, dan (3) gaya peran konsultan yakni supervisor banyak mendorong para traine untuk memikirkan diri mereka sendiri dan untuk mempercayai wawasan-wawasan mereka sendiri.[2]
BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah mencermati isi makalah sebagaimana telah dibahas, maka diperoleh pemahaman penting tentang bagaimana strategi konseling dan intervensi harus dilaksanakan. Berdasarkan isi makalah ini terdapat beberapa hal yang secara khusus ditekankan oleh Hackey dan Cormier dalam bukunya.
Pertama, pernyataannya bahwa dimensi keterampilan konselor merupakan salah satu dimensi penting dalam proses bantun. Konselor adalah seorang yang professional dalam pemberian bantuan, karena itu seorang konselor, disamping harus memenuhi kualifikasi formal dan personal, ia juga harus memiliki berbagai keterampilan, terutama keterampilan interpersonal, konseptualisasi, dan dalam intervensi.
Kedua, dinyatakan bahwa dalam relasi konseling seorang konselor harus mampu mengembangkan sikap empati, penghargaan positif, keiklhlasan, keaslian, dan kesungguhan, atau dalam istilah Roger kongruensi. Sedangkan tugas konselor adalah memfasilitasi klien agar potensi-potensinya dapat berkembang secara optimal.
Ketiga, dinyatakan bahwa empati, penghargaan positif, kongruensi adalah kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mendukung terjadinya relasi konseling.
B.     Saran
Seorang konselor yang profesional harus memenuhi kualifikasi personal yang memadai serta memiliki keterampilan interpersonal, konseptualisasi, dan strategi dalam intervensi.
C.    Daftar Pustaka
Dr. Achmad Juntika Nurihsan, M.Pd. Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: 2006.
Hackey dan Cormier, Strategi dan Intervensi Konseling, 1988.
http://khairiilham.blogspot.com/2010/01/strategi-dan-intervensi-konseling.html
http://kajianpsikologi.guru-indonesia.net/artikel_detail-17091.html